Senin, 21 Februari 2022

MEREKA TERIAK MAMA MARAH

           

MEREKA TERIAK MAMA MARAH

 

Hari ini aku memberi hadiah bacaan buku baru kepada teman-teman kecilku, “cerdas mengelola emosi anak usia dini”. Anak-anak di kelasku seneng sekali jika dibacakan buku cerita.

Setelah salam, berdoa, dan bercakap-cakap, aku sampaikan, "bu guru membawa hadiah buku baru...." "Horeee!!!" Mereka bergembira. Belum kumulai menanyakan gambar apa, sebagian anak telah menebaknya. "Marah! Mama marah!"

“Emmm... teman-teman, coba lihat. Bismillahirrrahmanirrahiiimmm...” kubuka plastik pembungkus buku baru. Siapa tahu, ini gambar apa?

"Maraaah!" Sebagian anak bersorak.

"Oh iya? Siapa yang marah?" Tanyaku.

"Mamaaaa! Mama maraaaah!!!" Jawab mereka. 

Ah, yang benar....

Benaaaar! Kompak mereka.

Tapi ada salah satu anak perempuan yang sudah mengenal bunyi huruf awal, menunjukkan wajah ketidak setujuannya. “Coba perhatikan mulut bu guru!!!” ajakku.

"Mmmmmmammmma. Ayo tirukan! Mmmmammmma. “Huruf awalnya gimana bunyinya?" Tanyaku

"Mmmmmmmmmmm...." bagi yang sudah mengenal bunyi, mereka menjawab sambil merapatkan kedua bibir dengan mengeluarkan suara seperti bersenandung. Mmmmmmm!!!!

"Mmmmmmmmm, itu bunyi huruf apa?"

"Emmmmmmm!!!!"

Nah, coba lihat tulisan di buku ini.

Huruf awalnya apa?

Beberapa anak menjawab, "aaaaaaa!!!!!"

A? Sama gak dengan em?"

"Tidaaaaaak!!!!!

Sesudah a huruf apa" 

"Kaaaaaaaa"

Lalu?

"Uuuuuuu"

Bunyinya?

"Kuuuuuuuu"

Coba dari awal, sambil jari telunjukku menunjuk ke huruf judul buku. Anak-anak yang sudah mengenal bunyi dan huruf, perlahan setengah ragu, menyebut, "aaaaakuuuuuu..." mereka sambil tersenyum. Sepertinya kaget. Kok berbeda dengan bunyi em.

"Loh! Aku?" Jariku kutujukan ke dadaku sendiri. A ku. Aku. Bukan mama kan?

Mereka semua tertawa. “Aku maraaaaaah!!!" Kata mereka.

“Tunggu dulu, sayang... Kita coba lagi....” Kulanjutkan menunjuk huruf berikutnya.

“Huruf apa ini?"

“Teeeeeeee! Iiiiiiiiiiiiiiiii! Tiiiiiiiiiiiii!”

“Hebat! Seterusnya?”

“Deeeeeeee! Aaaaaaaaaaa!”  

“Kita ulang yooook!”

“Tiiiiidaaaaaaaa!

“Ada huruf terakhir, yang punya kaki. Huruf apa hayoooo!”

“Ekkkkkkaaaa!           

“Jadinya?” Aku membantu menyebutkannya, “dak. Tiiiiidak!”

Tidak maraaaaahhh! Aku tidak maraaaaahhhh!!!!!

Masih juga kata-kata marah yang disebut. Sepertinya, marah menjadi menu sehari-hari nih... Perlahan  kuselami daya pikir dan minat mereka terhadap literasi dalam mencintai bacaan. Meningkatkan kecerdasan berbahasa mereka dalam membaca gambar, mengungkapkan ide dan pendapat, maupun mengenal bunyi huruf dan suku kata.

Akhirnya sampai habis kata terakhir, terbaca semua kata dengan judul yang tertulis, “Aku tidak berteriak”.

Sebelum kubacakan nyaring isi buku, aku masih penasaran. Dibenakku masih menari-nari mencari jawaban. Mengapa anak-anak menyebutkan itu gambar mama marah? Dengan terpaksa ditengah-tengah membaca buku, kulontarkan pentanyaan.

“Teman-teman, mengapa teman-teman mengatakan itu gambar mama marah?” Mereka tersenyum. Sambil kukurangi volume suaraku, “emang, mama suka marah, ya?” Mereka saling memandang kawan sambil tersenyum.

Ok, senyum mereka menunjukkan keraguan. Karena hati mereka pasti mengakui bahwa yang paling sayang kepada mereka adalah mamanya. Apalagi sering aku bercerita kisah jasa mama. Lalu kutanya, "mama siapa yang biasanya marah?" aku menanyakan sambil tersenyum. Dari 15 anak, hampir semua angkat tangan. Yang tidak angkat tangan, hanya satu orang. Kudekati dan kutanya, "Zahra, mama tidak pernah marah, nak?" Ia geleng kepala, lalu menjawab, "tidak."

MasyaAllah... pantas sekali.  Zahra selalu tersenyum. Dijauhi temannya, diganggu temannya, setiap hari hanya tersenyum. Ceria dan semangat. Menurut pengamatan saya sebagai gurunya, Zahra tidak pernah menyakiti temannya. Anak seperti Zahra, yang hebat tentu  mamanya.

Lalu kubacakan cerita dalam buku tersebut. Anak-anak sangat antusias, penasaran dan.... hanyut dalam samudera kasih sayang... Kasih sayang kepada mama yang selalu sabar dan sayang kepada anak. kusampaikan sebenarnya mama tidak marah, tapi karena sayang kepada anak, dan selalu menginginkan agar anak mama selamat.

Makanya anak tidak boleh berteriak kepada mama. Sebagaimana Q.S Al-'Isrā' :23 - Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

     Dari kisah tersebut, didapat pelajaran indah, bahwa orang tua berperan besar dalam proses mengasah kecerdasan spiritual, sosial emosional serta intelektual anak. Intonasi dan bahasa tubuh sangat mempengaruhi sosial emosional anak.


Naskah ini pada awalnya di tulis pada tanggal 22 Januari 2020. 

Dikirim dan terbit di Padang Ekspres pada hari Senin 21-2-2022

Alhamdulillah... semoga menginspirasi. Mari Bapak ibu guru, kita abadikan pengalaman baik kita dengan menulis. semoga bermanfaat. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar