Senin, 21 Agustus 2023

Buku aktivitas

 

Cara Membuat Buku Aktivitas

Hal

Aspek

Perkembangan

Teks

Jenis aktivitas

1

Cover

 

 

2

Copyright

 

 

3

Seni

 

70. Cara merawat kebersihan & Kerapian Benda Pribadi

(untuk semester 1)

 

1)      Elsa dan Edwin rajin mencuci tangan.

Sebutkan benda untuk mencuci tangan.

Tebalkan tulisan sabun.

Tulisan sabun dari titik-titik yang agak besar.

Gambar: mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun.

 

 

-          Menyebutkan nama benda untuk mencuci tangan

-          Menebalkan tulisan “sabun”.

 

 

2)  Elsa dan Edwin adalah anak yang rajin. Mereka merapikan mainan sesudah digunakan. Hitunglah, dan rapikan kembali mainan sesuai tempatnya,

Tulislah lambang bilangan dalam kotak.

Gambar: Elsa merapikan mainan boneka dalam kotak. Ada tiga buah boneka di luar kotak. Yang besar 1 buah, yang kecil 2 buah.

Edwin merapikan balok. jumlah balok di luar keranjang ada lima buah, mobil-mobilan ada 2 buah.

Semua mainan bercampur di atas tikar yang diduduki Elsa dan Edwin. 

Kotak di sudut kanan bergambar balok. Kotak di sudut kiri bawah gambar boneka.

-          Menghitung mainan diluar keranjang

-          Menulis lambang bilangan

 

 

3)     Perhatikan dan ceritakan gambar dibawah. Warnailah gambar anak yang menjaga kebersihan tempat tidur.

Ilustrasi:

Tempat tidur, bantal, bantal guling,

Elsa memegang kemoceng dekat meja belajar, Edwin meletakkan bantal guling dengan rapi.

Gambar satu lagi, anak yang meninggalkan tempat tidur yang berantakan. Di lantai ada mainan mobil-mobilan, boneka dan robot.

 

 

-          Menceritakan gambar merapikan tempat tidur.

-          Mewarnai gambar.

 

Cerita pengantar tidur

 

No.

Teks

Panduan Ilustrasi

 

1

PUTRI RAJA DALAM PERUT ULAR NAGA

Oleh: Nurlaila Tussubha

Alkisah, seorang raja memiliki putri yang cantik, berambut panjang, dan baik budi. Ia suka membatik di taman. Pada waktu putri sudah dewasa, ia dinikahi oleh sang pangeran yang gagah dan tampan. Mereka hidup bahagia di istana. Ketika  pangeran akan berburu ke hutan, putri ditingal bersama pembantu bernama Musmar, berbadan besar, dan berkulit hitam.

Saat membatik, tiba-tiba putri ingin makan rujak. “Musmar, Musmar, aku ingin makan rujak sepiring saja”.

 “Baik Putri”, jawab Musmar, dengan suara yang besar.

Musmar pergi ke hutan mencari buah-buahan. Ia membawa buah-buahan banyak sekali. Mangga, nanas, jambu, dan kedondong. Musmar menumbuk seluruh buah.

Lau menghidangkan kepada putri. “Ini rujaknya, putri.”

“Musmar, Musmar. Aku minta sedikit saja, kenapa dibuat sebanyak itu? Kalau begitu makanlah sendiri.”

“Baik, Putri. Terimakasih, putri”.

 Musmar makan rujak sampai habis. Ia kekenyangan dan mengantuk. “Wahai putri, saya ngantuk sekali. Saya izin tidur sebentar.”

“Jangan, Musmar!”

 “Sebentar saja.”

“Jangan, Musmar! Aku takut.” Putri mengiba.

“Saya ngantuk sekali.”

“Baiklah, sebentar saja, ya?”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Di taman istana putri raja sedang membatik.

Musmar menghidangkan sambil memegang rujak di belanga yang sangat besar.

2

 

Karena kekenyangan Musmar tidur dengan lelapnya sambil mendengkur.

“Ngkuuuuurrrr! Ngkuuurrrr!”

Tak lama kemudian datanglah seekor ular besar. Sang Putri memanggil Musmar dengan suara yang mendayu-dayu.

“Musmar! Bangunlah! Bangunlah sebentar saja. Itu ada ular naga besar sekali. Aku takut. Bangunlah, Musmar!”

Musmar tidak bangun dan tetap tidur mendengkur. Ular semakin mendekat lalu memakan putri. Setelah menelan, ular pun pergi ke hutan.

Saat Musmar bangun, dilihatnya kemana-mana, tak ada sang Putri. Sambil ketakutan, Musmar pergi ke hutan untuk menemui pangeran. Ia menyampaikan bahwa sang putri tidak ada di istana. Musmar menceritakan jika ia tidur karena kekenyangan makan rujak. Ia melihat ada bekas ular di taman.

Pangeran bersama Musmar mencari ular naga tersebut. bertemulah ia dengan ular yang perutnya sangat besar, dan memanah ular tersebut. Didekatilah ular tersebut, lalu pangeran membelah perut ular. Ternyata benar, ada sang Putri masih hidup.

Pangeran bersyukur dan bahagia. Pangeran membersihkan badan sang putri, dan diajaknya naik kuda untuk pulang ke istana. Musmar mengikuti mengikuti dari belakang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Di hutan.

Ada ular besar, dibelah pangeran, nampak putri dalam perut ular.

Disebelahnya ada Musmar dan kuda yang diikat di pohon.

 

SEMARAK RAMPAK SERUNAI

 

PUCUK DI CINTA ULAMPUN TIBA

Antologi bersama Kak Gol Agong

“Kak, aku titip amplop ini.”

“Apaan ini?” tanya Rani. Seorang tetangga yang dianggap sebagai kakak angkat Jamil, sejak Jamil hidup merantau di kota kembang itu.

“Itu kak, sedikit rejeki. Aku gak bisa tidur setelah mendengar cerita kakak kemarin. Tolong sampaikan salamku ke Indah. Jangan bilang kalau amplop ini dariku, ya kak?” sambung Jamil sambil terbata-bata.

Rani belum puas dengan jawaban Jamil. Ia terus menodong pertanyaan tentang isi amplop itu apa, mengapa, dan seterusnya. Jamil masih kebingungan memberi jawaban yang tepat. Akhirnya Jamil mengaku, ia ingin membantu membayar iuran ujian akhir seorang siswi yang diceritakan Rani kemarin, Indah.

            Keesokan harinya sepulang sekolah, seperti biasa Indah bermain ke rumah Rani. Rani pernah mengenalkan Jamil kepada Indah. Indah masih fokus untuk ujian akhir, ia tidak mengacuhkan perkenalan yang Rani tawarkan. Meski dari sorot matanya sangat penasaran ingin jumpa dengan sosok Jamil yang diceritakan Rani padanya.

            “Kak, sepertinya hari mau hujan. Indah pulang dulu, kak. Ada jemuran yang belum indah angkat.” Indah berpemitan

            "Ok! Besok kita cerita lagi ya. Eh, tunggu! Ini ada titipan dari teman kakak.” Rani menyodorkan amplop kepada Indah.

            “Apaan ini kak? Dari siapa?”

            “Surat, dari teman kakak. Bacalah dulu?”

            “Baik, kak. Terimakasih.” Sambil tergesa-gesa, Indah membawa amplop itu pulang.

            Indah meletakan amplop di atas meja belajarnya dan langsung mengangkat jemuran. Tugas harian Indah di sore hari menyapu dedaunan yang memenuhi halaman, menyiram bunga, merapikan rumah, dan membantu ibunya memasak untuk hidangan makan malam.

Setelah jamaah solat Maghrib, Indah, adik, dan ibunya mengaji dan membuka terjemah Al-Quran. Mereka berdiskusi tentang kandungan ayat terkait fenomena kehidupan dan alam.

Selesai jamaah Isya, mereka sekeluarga makan malam, lalu menonton TV. Ibu paling suka menonton berita. Kalau sinetron ibu kurang tertarik semenjak mendengar beberapa kasus yang menimpa pemainnya. Joko, adek Indah belajar di ruang tamu, sedangkan Indah belajar di kamar agar lebih fokus, apalagi persiapan ujian akhir.

Saat duduk di depan meja belajar, terlihatlah amplop dari Rani. Iapun membukanya. Indah terkejut luar biasa melihat isi amplop. Bukannya surat tapi lembaran rupiah sebesar iuran ujian akhir. Indah gemetar. Hatinya mulai tidak tenang. Dadanya berdegup kencang, semakin menyesak. Ia lalu berdiri dan langsung menyungkur ke atas kasur, dengan kaki menjuntai ke lantai. Indah menangis tarsedu-sedu.

Indah bingung, tak berani mengadukan hal itu kepada ibunya, atau kepada adeknya Joko yang masih duduk di bangku SMP. Sambil masih terisak-isak, ia duduk, memegang dan mengamati amplop dan uang tersebut. Ingin hatinya menanyakan kepada Rani, namun itu tak mungkin. Karena hari sudah malam.

Tuuut.. tuuut.. tuuut.. Bunyi telepon di HP Rani.

Assalamualaikum, kak.”

Walaikumussalam.”

“Amplopnya udah dikasih, Kak?”

“Udah. Tadi siang.”

“Apa kata Indah, Kak?”

“Dia penasaran sih. Kakak bilang juga dari dirimu”

“Terimakasih, kak.”

“Ok. Tidur lagi, udah malam.”

“Shiiip! Salam kak.” Jamil pun menutup telponnya.

Tak lama kemudian, HP Rani berbunyi lagi.

“Kak, he he… ada yang tertinggal. Jangan marah ya kak… Rani ada nelpon kakak, gak?

“Enggak”

“Hemh, penasaran ya? Kenapa gak kamu aja yang kasih ke dia?

“Enggak, enggak, kak. Makasih, kak?

“Ok!”

Indah masih menangis sesenggukan. Ia kembali ke meja belajar untuk mengambil bukunya. Baru membuka halaman pertama, dia ambil nafas dan berdoa mau belajar. Namun ternyata ia tak bisa konsentrasi. Pikirannya kalut. Tidak tahu harus bagaimana. Ia pun ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Indah memaksa matanya agar dapat terpejam. Ia tak jadi melanjutkan belajarnya, dan istirahat, tidur.

Keesokan paginya di sekolah, ia membaca pengumuman syarat mengikuti ujian akhir. Hatinya tergores kembali mengingat ia belum membayar ujian akhir. Ia yakin, akan membayarnya, setelah gaji ibunya sebagai pembantu rumah tangga telah diterima. Namun ia ingat akan uang dalam amplop semalam.

Sepulang sekolah, Indah tidak langsung pulang. Ia pergi ke rumah Rani.

Assalamualaikum! Kak… Kak Rani!”

“Waalaikumussalam. Eih kamu.” masuk! Sambut Rani.

“Kak, aku gak lama. Semalam itu apa? Dari mana?”

“Apaan?” Rani sok gak tahu.

“Amplop itu. Bukan surat, kak.” Jawab Indah sambil kedua tangannya memegang amplop, tepat di depan dada Rani dengan mata setengah berair.

“Oh Iya?!” Tanggap Rani setengah heran, sambil menguatkan batin Indah. Rani yakin Indah akan kaget dan galau.

“Isinya uang, kak.”

“Bukannya kamu sedang butuh sekarang? Kan bisa untuk membantu membayar uang ujian akhir?” tegas Rani.

Indah tidak bisa menjawab, Ia langsung melepas sesak dadanya, dan menangis di pelukan Rani. Ia mengatakan bahwa ia sekadar sharing saja, tanpa mengharap bantuan siapapun. Indah menunggu gajian ibunya. Ia takut jika ketahuan ibunya mendapat amplop dari orang yang belum dikenalnya. Ia ingin fokus sekolah, dan melanjutkan pendidikannya untuk merubah kehidupan keluarganya.

Setelah diterangkan dengan tenang oleh Rani, tujuan Jamil memberikan amplop itu, perlahan Indah bisa mengerti. Dengan syarat Indah tidak ingin berhutang budi dan tak ingin Jamil mengganggu kehidupannya saat ini.

Rani lega. Setelah suasana bersahabat kembali, awan mendung menghampiri. Indahpun izin pulang. Rani memeluk Indah, agar tetap semangat dan optimis meraih masa depan.

“Kamu cantik, kamu baik, kamu pendiam, dan…. kamu banyak teman. Semangat ya… ayahmu pasti bangga memilikimu. Bahagiakan ibumu. Kamu bisa jadi wanita muslimah yang sukses seperti yang sering kamu idamkan dan ceritakan padaku. Ok! Semangat!" Rani melepaskan pelukannya.

Indah menunaikan tugas harian di rumah. Sambil duduk di depan TV, ibunya bertanya, “Tumben, mengapa terlambat pulang hari ini?”

“Tadi ada perlu ke rumah Kak Rani, bu. Maaf, Indah tidak izin lebih dulu kepada ibu.”

“Tidak apa, ibu khawatir aja, anak gadis ibu yang cantik kalau pergi tanpa kabar.”

“Insya Allah Indah jaga pesan ibu. Doakan Indah selalu bu?” Indah mencium pipi ibu.

“Insya Allah, doa ibu tak kan sepi dari nama anak-anak ibu, nama kakek nenek, nama ayah, dan saudara muslim muslimat. Alhamdulillah…”

Indah semakin tenang dan yakin. Melihat ibunya yang rajin bekerja, memotivasi Indah untuk terus belajar dengan semangat. Sebagai gadis milenial, Indah masih sempat mewarisi ketrampilan ibunya kala ada waktu kosong. Indah suka merajut dan menjahit strimin. Hasilnya di pajang menjadi hiasan dinding dan hiasan kursi tamu.

Indah membayar uang ujian tanpa diketahui ibu. Uang dari Jamil ia bayarkan. Ia yakin itu jalan yang Allah berikan. Indah berdoa agar siapapun yang menolongnya mendapat balasan dari Allah SWT. Indah ikut ujian. Hasil ujian akhir ia mendapat peringkat kedua di sekolahnya. Ia pun melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang diinginkannya.

 

Nurlaila Tussubha, S.PdI, M.Pd. Lahir di Ponorogo – Jawa Timur.

Hobi membaca berawal dari kenal majalah Bobo waktu di SD. Hobi menulis cerita dan sharing pengalaman perihal anak usia dini. Saat ini sebagai Guru TK Negeri Pembina di Kota Padang Panjang Sumatera Barat. Anggota pegiat literasi Kota Padang Panjang.

Pengalaman menulis di Jurnal Pendidikan Kota Padang Panjang, Koran Padang Ekspres, dan Koran Singgalang.

Sebuah kesempatan langka dan berharga dapat belajar menulis satu buku bersama Duta Baca Indonesia, kak Gol A Gong.

Berharap dapat mengikuti jejak beliau dan bisa menulis menembus media nasional Republika, Kompas, Jawa Pos, dan lainnya. Amiiin.

 

Penulis Sahabat Literasi Dandelion

🅂🄴🄼🄰🅁🄰🄺 🅁🄰🄼🄿🄰🄺 🅂🄴🅁🅄🄽🄰🄸 


Rona ungu 𝗟𝗶𝗽𝘀𝘁𝗶𝗸 di bibir indah berbentuk hati menghalau 𝗟𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽 𝗚𝗲𝗹𝗮𝗽 gulita 𝗠𝗶𝘀𝘁𝗲𝗿𝗶 𝗞𝘂𝗿𝘀𝗶 𝗥𝗼𝗱𝗮 seelok 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗮𝗻𝘁𝗵𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗲𝗹𝘂𝗿𝘂 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴. 

Megahnya 𝗠𝗮𝗵𝗮𝗺𝗲𝗿𝘂 𝗱𝗶 𝗦𝘂𝗱𝘂𝘁 𝗥𝗼𝗺𝗮 menjadi puncak impian 𝗔𝗶𝘀𝗵𝗮, putri cemerlang yang akan 𝗣𝗲𝗿𝗴𝗶 𝗘𝘀𝗼𝗸 𝗛𝗮𝗿𝗶 berbekal segenggam 𝗔𝘀𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗸 𝗕𝗲𝗿𝘂𝗷𝘂𝗻𝗴.

Sementara itu, 𝗡𝘂𝗮𝗻𝘀𝗮 𝗛𝗮𝘁𝗶 𝗦𝘂𝗸𝗮𝗿𝘀𝗶𝗵 terus digerus rasa 𝗦𝗲𝗺𝗽𝗶𝘁 𝗻𝗮𝗻 𝗟𝘂𝗮𝘀 bergantian, sedemikian rupa. Hingga akhirnya, dia bersimpuh terpaku kilau 𝗕𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗧𝗲𝗽𝗶 𝗣𝗮𝗻𝘁𝗮𝗶. 𝗥𝗶𝗻𝗱𝘂 𝗧𝗲𝗿𝗯𝘂𝗻𝗴𝗸𝘂𝘀 𝗟𝗮𝗿𝗮 sirna selaras harapan 𝗥𝗲𝗺𝗯𝘂𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗲𝗻𝗴𝗴𝗲𝗹𝗮𝗺 𝗠𝘂𝗻𝗰𝘂𝗹 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 menemukan 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗛𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴 seraya mengaut 𝗞𝗲𝗺𝗮𝗹𝗮 𝗱𝗶 𝗜𝗺𝗽𝗶𝘁𝗮𝗻 𝗞𝗼𝘁𝗮. 

Di 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗗𝗶𝗻𝗴𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗗𝗮𝗻𝗮𝘂 𝗧𝗼𝗯𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝘂𝗻𝗰𝗮𝗸 𝗕𝗼𝗴𝗼𝗿, siluet 𝗦𝗶 𝗠𝗯𝗼𝗸 𝗣𝗲𝗻𝗷𝘂𝗮𝗹 𝗧𝗲𝗺𝗽𝗲 menari kian kemari mencari asal semerbak 𝗛𝗮𝗿𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮 𝗞𝗼𝗽𝗶 𝗧𝗵𝗲𝗵𝗼𝗸𝘂. Lincah langkah si puan penuh 𝗛𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗗𝗶𝗿𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗔𝗻𝗷𝗶𝗻𝗴  mungil selalu setia menemani di sampingnya.

Seorang pemuda berharap 𝗝𝗼𝗱𝗼𝗵, tepatnya 𝗠𝗲𝗻𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗝𝗼𝗱𝗼𝗵 pilihan ibunda. Hatinya bertanya, 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗽𝗮 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗟𝗶𝗻𝗱𝗮? Apakah karena 𝗦𝗶 𝗕𝗼𝗰𝗮𝗵 𝗕𝗲𝗿𝘀𝘂𝗮𝗿𝗮 𝗘𝗺𝗮𝘀 itu cucu kesayangan 𝗦𝗶 𝗠𝗯𝗮𝗵 𝗥𝗼𝗻𝗴𝘀𝗼𝗸 𝗛𝗲𝗯𝗮𝘁 atau semata 𝗣𝘂𝗰𝘂𝗸 𝗗𝗶𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗨𝗹𝗮𝗺 𝗣𝘂𝗻 𝗧𝗶𝗯𝗮. Yang jelas, gadis itu berparas manis 𝗠𝘂𝗸𝗮 𝗝𝗮𝘄𝗮.

𝗠𝗮𝗻 𝗝𝗮𝗱𝗱𝗮 𝗪𝗮 𝗝𝗮𝗱𝗱𝗮 kulafazkan 𝗗𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗔𝘀𝗺𝗮-𝗠𝘂 di tengah penghayatan 𝗠𝗼𝗻𝗮, 𝗦𝗮𝗻𝗴 𝗜𝗻𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘁𝗼𝗿 𝗖𝗶𝗹𝗶𝗸  melantunkan 𝗦𝗮𝗷𝗮𝗸 𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 dalam 𝗚𝗲𝗿𝗯𝗼𝗻𝗴 𝗞𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 tentang selaksa 𝗣𝗲𝗻𝘆𝗲𝘀𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗕𝗲𝗺𝗯𝘆 pada 𝗡𝗮𝗺𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗦𝗮𝗺𝗮. Teramat dalam luka lama menghujam, tak akan kuasa 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗽𝘂𝘀 𝗞𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻.

𝗕𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮𝗽𝘂𝗻, 𝗜𝗮 𝗔𝘆𝗮𝗵𝗸𝘂. Sosok paling berjasa menempaku tanpa pamrih sejak 𝗦𝗮𝗵𝘂𝗿 𝗣𝗲𝗿𝗱𝗮𝗻𝗮 hingga masa 𝗦𝗲𝗿𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗞𝗲𝗹𝗮𝘀 𝗢𝗳𝗳𝗹𝗶𝗻𝗲 𝗣𝗮𝘀𝗰𝗮𝗽𝗮𝗻𝗱𝗲𝗺𝗶 𝗖𝗼𝘃𝗶𝗱-𝟭𝟵. Untuk itu, 𝗜𝘇𝗶𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗔𝗸𝘂 𝗠𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴 karena aku pantas menyandang gelar kemenangan. Telah kuubah segala rintangan menjadi tantangan, dan membuahkan hasil gemilang.

𝗜𝗯𝘂, 𝗧𝗶𝘁𝗶𝗽 𝗦𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗔𝘆𝗮𝗵. Janganlah 𝗦𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗦𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮, nanti berakibat 𝗣𝗲𝗻𝘆𝗲𝘀𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗧𝗮𝗸 𝗕𝗲𝗿𝘂𝗷𝘂𝗻𝗴. Masalah memang besar, tetapi 𝘽𝙞𝙜 𝙞𝙨 𝘽𝙚𝙖𝙪𝙩𝙞𝙛𝙪𝙡. 𝗜𝗺𝗮 𝘀𝗶 𝗣𝗲𝗺𝗯𝘂𝗿𝘂 𝗧𝗮𝗸𝗷𝗶𝗹 menyukai semboyan itu. 

𝗣𝗮𝗸𝗶𝘀 𝗣𝗲𝗻𝘆𝗮𝗺𝗯𝘂𝗻𝗴 𝗡𝘆𝗮𝘄𝗮 persembahan hati sekaligus penangkal 𝗣𝗲𝗿𝗽𝗶𝘀𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗧𝗮𝗻𝗶𝗮. Wahai 𝗕𝘂𝗮𝗵 𝗛𝗮𝘁𝗶𝗸𝘂, ingat selalu pesan singkatku, jangan sampai 𝗞𝗲𝗯𝗼𝗯𝗼𝗹𝗮𝗻 𝗔𝗻𝗴𝗮𝗻. 

𝗗𝗶𝗿𝗹𝘆, 𝗠𝗮𝗮𝗳𝗸𝗮𝗻 𝗔𝗸𝘂! Mari kita nikmati 𝗛𝗶𝗱𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗧𝗲𝗿𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿 𝗱𝗶 𝗠𝗲𝗷𝗮 𝗠𝗮𝗸𝗮𝗻 dan biarkan kutatap 𝗣𝗲𝗹𝗮𝗻𝗴𝗶 𝗱𝗶 𝗕𝗼𝗹𝗮 𝗠𝗮𝘁𝗮 indahmu yang semula bagai 𝗥𝗲𝗺𝗯𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗧𝗮𝗸 𝗧𝗲𝗿𝗴𝗮𝗽𝗮𝗶.

Foto bang Habib

 foto bang Habib